KLIKTARGET.ID – Program Pendidikan Guru Penggerak jenjang Taman Kanak-Kanak (TK), memiliki modul pembelajaran dan materi yang cukup berbeda dibandingkan dengan materi pada Pendidikan Guru Penggerak jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada Pendidikan Guru Penggerak jenjang TK, ada dua materi yang menjadi sebuah catatan tersendiri bagi peserta program Guru Penggerak, yaitu Segitiga Restitusi dan Pembelajaran Sosial Emosional.
Segitiga restitusi merupakan tahapan tindakan yang dilakukan guru untuk membawa siswa menaati kesepakatan kelas yang telah ditetapkan dan mengakui secara sadar dan terbuka ketika melakukan kesalahan, serta merasakan kenyamanan ketika sudah berperilaku jujur.
Pembelajaran Sosial Emosional merupakan pembelajaran kolaboratif yang melibatkan seluruh pihak terkait yang bertujuan untuk melatih kemampuan peserta didik agar dapat memahami, mengolah, dan mengekspresikan aspek sosial dan emosional pada diri peserta didik.
Tujuannya adalah agar anak bisa sukses melakukan dalam melakukan berbagai macam aktivitas hidup seperti belajar, membangun hubungan, menyelesaikan masalah sehari-hari, dan beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan perubahan dan perkembangan.
Menurut guru Penggerak angkatan 4 di TK Al Firdaus Surakarta, Iin Sulistianingsih, ada banyak manfaat yang diterimanya setelah mengikuti program Pendidikan Guru Penggerak, salah satunya adalah ia kini mampu menerapkan segitiga restitusi.
Iin sempat mengambil sampel salah satu murid di kelasnya yang memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar.
“Kemudian saya tanyakan dia, alasannya apa dan tujuannya apa? Dari program Guru Penggerak saya mendapatkan suatu materi bahwa setiap perbuatan anak itu pasti ada tujuannya. Kalau sebelumnya saya biasa men-judge (menghakimi), tapi setelah mengikuti Guru Penggerak, saya tahu semua ada alasannya kenapa anak melakukan suatu perbuatan,” katanya dikutip Jumat (22/7/2022).
Selanjutnya, Iin dan muridnya kemudian bersama-sama mencari solusi (problem solving). Dalam proses mencari solusi tersebut, guru juga mendengarkan aspirasi dan suara anak, sehingga keputusan tidak dibuat oleh satu pihak saja, yaitu hanya dari guru, melainkan dari kedua pihak, yakni guru dan murid.
“Jadi suara anak didengar supaya antara anak dan guru bisa mewujudkan satu visi yang sama. Sehingga ketika pembelajaran, didapatkan kesepakatan mengenai sebuah peraturan yang berdasarkan usulan dari anak. Lalu kalau dia lupa, nanti kita ingatkan dengan komitmennya,” tutur Iin. (*)